Minggu, 02 Mei 2010

Kang Paiman

Ketika saya kuliah di IPB dulu mengalami kesulitan financial yang amat sangat. Bekal dari orang tua tidak cukup. Pernah tidur di Masjid kampus selama lebih dari satu tahun. Bisa makan dua kali sehari merupakan satu prestasi. Saya berkirim surat kepada guru saya, saudara saya yang secara ekonomi lebih mapan dan juga orang-orang kaya di kampung untuk meminta bantuan. Dengan harapan mereka bersedia mengulurkan tangan kepada saya, karena saya satu-satunya orang yang kuliah di IPB, baik di kampung saya maupun asal sekolah saya. Respon yang saya terima pertama kali dari ibu Ade Meliza guru saya, ia mengirimkan kamus bahasa Inggris kepada saya. Saya sangat senang mendapat kiriman kamus itu walau memang yang saya butuhkan ketika itu uang untuk menyambung hidup bukan kamus. Di saat puncak kesulitan saya bermunajat kepada Allah. Dan melalui siapakah dia menolong?

Kang Paiman. Dia adalah putra bude saya yang tinggal di Kutoarjo Jawa Tengah. Di sore hari menjelang malam disertai hujan gerimis ia datang ke Bogor dengan membawa kardus berisi beras, pisang, mie instant, ikan asin dan makanan ringan khas Kutoarjo (klanthing). Saya tidak menduga sama sekali dia datang. Untuk mencari alamat saya. Ia membutuhkan waktu setengah hari dengan memanggul kardus itu. Dari Kutoarjo ia berangkat sore hari naik Damri menuju Bogor. Pagi hari ia sudah sampai di Bogor. Ia bingung harus mencari kemana? Ditunggu di kampus tak ketemu karena ternyata mahasiswanya ribuan. Tanya puluhan orang yang lewat di dalam kampus tidak ada yang tahu nama Jamil.

Setelah bermandikan keringat dan lelah mencari saya, dia pergi ke masjid untuk sholat mahgrib dan melepas lelah. Dia berniat menginap juga di masjid itu dan tak akan pulang ke Kutoarjo sebelum bertemu dengan saya. Namun tanpa diduga, usai sholat maghrib dia melihat saya dan tanpa ragu kemudian ia memeluk saya begitu erat sambil menangis tersedu-sedu. Saya sendiri bingung, karena tidak tahu siapa yang memeluk saya karena sudah lebih dari 10 tahun tidak bertemu dengannya. Sambil terus menangis dan memeluk saya dia mengatakan “Mil ini kang Paiman” saat itulah tangis saya tak terbendung.

Air mata saya semakin membasahi pipi setelah ia menyerahkan kardus yang sangat berat berisi beras, pisang, mis intant, ikan asin dan klanthing. Kardus yang berat itu terus ia panggul ketika mencari saya. Ketika menyerahkan kardus itu ia mengatakan “Kang Paiman gak punya apa-apa jadi hanya membawa ini. Alhamdulillah kang Paiman juga punya sedikit rizki, ini ada lima puluh ribu, kamu terima semoga bisa sedikit membantu kamu kuliah. Saya berharap kamu bisa selesai kuliah jadi insinyur pertanian” Perasaan saya ketika itu berkecamuk antara haru dan bangga dengan kang Paiman. Ternyata Allah menolong kegelisahan saya melalui Kang Paiman yang hanya tukang kebun di SD Negeri Gentan Kutoarjo dengan gaji yang tidak seberapa. Padahal, sayapun tidak berkirim surat meminta tolong kepada kang Paiman.

Sejak saat itu komitmen saya untuk menjadi insinyur pertanian semakin kuat. Saya ingin membalas harapan dan kebaikan yang telah kang Paiman berikan kepada saya. Dan hingga kinipun nama Kang Paiman masih terpatri kuat di dalam pikiran dan hati saya. Tanpa peran kang Paiman mungkin saya tidak akan menjadi insinyur pertanian dan menjadi Jamil yang sekarang. Terima kasih kang Paiman, sang tukang kebun yang begitu mulia.

Post DIPOSTING OLEH Jamil Azzaini | April 15, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar